Pengertian Landasan Yuridis Pendidikan

Landasan Yuridis Pendidikan – Pengertian, Konsep, Penerapan & Jenis – Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai Landasan Yuridis Pendidikan yang dimana dalam hal ini meliputi pengertian, konsep, penerapan dan jenis, untuk lebih memahami dan mengerti simak ulasan dibawah ini.

Landasan Yuridis Pendidikan

 

Pengertian Landasan Yuridis Pendidikan

Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain.


Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.

Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Pengertian Landasan Pendidikan Menurut Para Ahli Beserta Jenis Dan Fungsinya


Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.


Tiap-tiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di Negara itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, Ketetapan dan Surat Keputusan. Semuanya mengandung hukum yang harus ditaati, dimana UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi. Landasan hukum merupakan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksakan kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.


Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena hakikatnya pendidikan nasional adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945 utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31:

  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib membiyayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan pendidikan nasional di samping untuk menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, juga dapat dipedomani bagi penyelenggaran pendidikan secara utuh yang berlaku untuk seluruh tanah air. Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus dijadikan alat untuk mengatur sehingga penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan sanksi.


Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit ditemukan penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut tidak begitu langsung tetapi dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat menimbulkan kerugian bukan hanya secara material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai proses pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam jangka panjang menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.


Konsep Penerapan Landasan Yuridis Pendidikan

Menurut pasal 31 ayat (1) menyebutkan : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena apabila suatu hal seseorang atau sekelompok masyarakat tidak bisa mendapatkan kesempatan belajar, maka mereka bisa menuntut haknya itu kepada pemerintah. Atas dasar itulah pemerintah menciptakan sekolah-sekolah yang bisa melayani kebutuhan warna negaranya tanpa kecuali apakah warga negara tersebut normal ataupun tidak normal dilihat dari aspek fisik dan mentalnya, baik yang tinggal diperkotakan maupun yang diperkotakan, baik yang miskin maupun yang kaya.


Sekolah-sekolah yang dimaksud antara lain SD Kecil, SD Pamong, SMP Terbuka Sistem Belajar Jarak Jauh untuk mengatasi warga negara yang mengalami sekulitan mendapatkan pendidikan karena aspek geografis (termaktub dalam pasal 5 ayat 3), dan sekolah luar biasa untuk memenuhi warga negara yang mempunyai kebutuhan khusus (pasal 5 ayat 2).


Namun demikian dengan amandemen UUD 1945, pasal 31 ayat (2), dan Undang-Undang Sisdiknas pasal (1) bahwa sampai dengan pendidikan dasar, pendidikan tidak hanya merupakan hak tapi sekaligus merupakan kewajiban warga negara. Hal tersebut logis dan dapat dipahami sebab keberhasilan proses pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tapi juga warga masyarakat.

Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : 7 Pengertian Pengajaran Menurut Para Ahli Lengkap


Sekalipun pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menangani pendidikan dan menyediakan biaya pendidikan dan cukup tetapi kalau masyarakat tidak ikut serta (terutama dalam hal kesadaran dan motivasi belajar) maka pembangunan di bidang pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik. Lebih-lebih di era globalisasi yang menurut kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing yang tinggi adalah logis apabila warga negara diwajibkan untuk menempuh pendidikan dasar.


Setelah membahas landasan hukum dalam pendidikan yang dijabarkan dari UUD tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, maka dampak terhadap konsep dan pelaksanaan pendidikan adalah sebagai berikut :

  • Sebagai konsekuensi dari beragamnya potensi dan kebutuhan peserta didik maka proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik sehingga pendidikan dalam pembelajaran dituntut untuk aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)
  • Dibutuhkan beragam jenis sekolah, sekolah umum dan kejuruan, sekolah untuk siswa normal dan sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus, serta beragam jurusan. Sistem pendidikan menganut double track, bukan singlet track.
  • Untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya diperlukan perhatian yang sama terhadap pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomor pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendisain kurikulum sedemikian rupa sehingga struktur kurikulum mencakup mata pelajaran-mata pelajaran yang mencakup ketiga ranah / domain tersebut. Dan dalam proses pembelajaran ketiga aspek tersebut disampaikan secara terintegratif.
  • Pendidikan harus berakar pada kebudayaan nasional, maka dibutuhkan kurikulum yang mampu pengembangan budaya luhur bangsa.

Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban warga negara, maka kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan program-program pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah kebijakan yang bagus yang berlu didukung oleh semua pihak.


Penerapan Landasan Yuridis Dalam Pendidikan

Sebuah pendidikan dapat berjalan lancar apabila segala aspek menyangkut pendidikan itu terpenuhi. Dari segi pendanaan, fasilitas tempat belajar, guru  atau dosen pemberi materi, dan juga buku penunjang pendidikan tersebut. Bila salah satu aspek ada yang tertinggal maka dapat dipastikan proses belajar tidak dapat berjalan seimbang. Berikut akan dibahas tentang penunjang jalannya pendidikan :


  1. Pendanaan Pendidikan

Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan akantetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%.


Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan.


Pasal inilah yang sampai sekarangterus diperjuangkan oleh banyak pihak agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.


Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlomba-lomba untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan masuknya ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi nilai tawar dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa pemerintah daerah. Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik guna melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang dasar yaitu minimal 20% dari APBN/APBD.


  1. Kompetensi Guru / Konselor

Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif. Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya.


Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum. Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.


Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 6 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing.

Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : 14 Pengertian Makalah Menurut Para Ahli Terlengkap


Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan.


Hal tersebut dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.


Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan.


Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri. Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.


Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.


Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.


  1. Desentralisasi Pendidikan

Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal  50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.


Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di atasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerukan dukungan dan kerja sama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.


Selain itu, otonomi juga berimplikasi pada pengembangan pendidikan keagamaan di Indonesia. Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada pembentukan strategi dalam menghadapi tantangan modernitas. Munculnya otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan memberikan kerja keras bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah pendidikan ke depan.


Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten / kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemetaan utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar.


Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya. Semangat desentralisasi pendidikan yang sementara ini dianggap merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan perlu didukung dan dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang menerima pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong untuk dapat terwujud.

Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Sumber Hukum


Jenis-Jenis Landasan Yuridis Pendidikan Indonesia

Berikut ini terdapat beberapa jenis-jenis landasan yuridis pendidikan indonesia, terdiri atas:


  1. Pendidikan Menurut Undang-undang Dasar 1945

Undang undang dasar 1945 merupakan hukum tertinggi di indonesia. Semua peraturan harus tunduk kepada undang undang termasuk pendidikan. Pasal-pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam UUD 1945 hanya 2 pasal yaitu pasal 31 dan 32 yang menceritakan tentang pendidikan dan kebudayaan. Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut :

Ayat 1  :  Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Ayat 2 :    Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib membiyayainya.

Ayat 3 :    Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Ayat 4  :   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional.

Ayat 5 :    Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32 UUD 1945 sebagai berikut :

Ayat 1  :  Memajukan kebudayaan nasional serta memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mengembangkannya.

Ayat 2  :  Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari budaya nasional.

Pendidikan dan kebudayaan adalah dua unsur yang saling mendukung satu sama lain. Bila pendidikan maju, maka kebudayaan juga akan maju.


  1. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Diantara peraturan perundangan-undangan RI yang paling banyak membicarakan pendidikan adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang ini disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan . Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya artinya segala sesuatu yang bertalian dengan pendidikan, mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi ditentukan dalam undang-undang ini. Ada beberapa pasal yang berkaitan dengan pendidikan antara lain:

  1. Pasal 1 ayat 2 dan ayat 5 tentang pendidikan yang berakar pada kebudayaan dan nilai-nilai agama yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945
  2. Pasal 5 tentang hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
  3. Pasal 6 tentang kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan kerja sama antara komponen masyarakat dalam uapaya pengembangan  pendidikan.
  4. Pasal 13 tentang perbedaan pendidikan jalur formal, nonformal dan informal.
  5. Pasal 15 tentang pembagian jalur pendidikan formal
  6. Pasal 29 tentang jalur kedinasan
  7. Pasal 28 tentang pendidikan anak usia dini
  8. Pasal 20 tentang pendidikan akademik dan pendidikan profesional
  9. Pasal 24 tentang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan
  10. Pasal 12 tentang hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama
  11. Pasal 39  tentang tenaga kependidikan
  12. Pasal 36 tentang pengembangan kurikulum
  13. Pasal 45 tentang pengadaan dan pemberdayaan sumber daya pendidikan
  14. Pasal 58 tentang evaluasi hasil belajar peserta didik.

  1. Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Global

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3).


Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).

Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan


Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.


Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.


Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).


Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).


  1. Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemen, Pasal 31 tentang Pendidikan Nasional mengamanatkan: (1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,


yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; (4) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 (ayat 1)  menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


Pada (ayat 2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.


Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu.


Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).


Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).


Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.


  1. Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Daerah

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.


Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1).


Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.


Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2).


Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).


Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 – (“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”) – (pasal 46 ayat 2).


Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).


Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2).


Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2).


Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.


  1. Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Lokal

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal.  Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.


Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.


Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b).


Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).


Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan kepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.


Daftar Pustaka:

  1. Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas. 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : BK UPI.
  2. Made Pidarta. 2004, Managemen Pendidikan Indonesia,  Jakarta : Rineka Cipta
  3. Made Pidarta. 2007, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Bercorak Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
  4. Muhammad Ali. 2007, Guru Dalam Proses BelajarMengajar, Jakarta : Rineka Cipta
  5. Nana Syaodih S. 2009,  LandasanPsikologi Proses Pendidikan, Jakarta :  Rineka Cipta
  6. Prayitno, 2009, DasarTeoridanPraksisPendidikan, Jakarta :KompasGramedia.
  7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
  8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
  9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
  10. Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
  11. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
  12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Demikianlah pembahasan mengenai Pengertian Landasan Yuridis Pendidikan Indonesia Lengkap semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya.  🙂 🙂 🙂