Autisme pada dasarnya adalah suatu kelainan biologis pada penyandangnya. Pada saat ini autisme dikategorikan sebagai “biological disorder”, dalam arti bahwa autisme bukan merupakan gangguan psikologis. Lebih spesifik dapat dikatakan bahwa autisme adalah suatu gangguan perkembangan karena adanya kelainan pada sistem saraf penyandangnya (neurological or brain based development disorder). Autisme dapat terjadi pada siapa pun, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang.
Sampai saat ini, penyebab GSA belum dapat ditetapkan. Negara-negara maju yang sanggup melakukan penelitian menyatakan bahwa penyebab autisme adalah interaksi antara faktor genetik dan mungkin berbagai paparan negatif yang didapat dari lingkungan. Kelainan ini menimbulkan gangguan, antara lain gangguan komunikasi, interaksi sosial, serta keterbatasan aktivitas dan minat. Autisme pada saat ini sudah dikategorikan sebagai suatu epidemik di beberapa negara.
Penanganan yang sudah tersedia di Indonesia antara lain terapi perilaku, terapi wicara, terapi komunikasi, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, dan pendidikan khusus. Beberapa dokter melakukan penatalaksanaan penanganan biomedis dan diet khusus. Penanganan lain seperti integrasi auditori, oxygen hiperbarik, pemberian suplemen tertentu, sampai terapi dengan lumba-lumba, juga sering ditawarkan.
Pengertian Autisme
Autisme atau autis merupakan salah satu gangguan perkembangan pada anak, dimana terjadi permasalahan pada interaksi sosial, masalah komunikasi dan bermain imajinatif “seolah-olah hidup memiliki dunia bermain sendiri” yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah tiga tahun. Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti aku atau diri “self”.
Pengertian Autisme Menurut Para Ahli
Berikut ini terdapat beberapa pengertian autisme menurut para ahli, terdiri atas:
- Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
- Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak memberikan respon ( tersenyum, dan sebagainya ), bila di ‘liling’, diberi makanan dan sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan suara orang tua pun menangis ), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit menangkap.
- Kartono (1989) berpendapat bahwa Autisme adalah cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, oleh karena itu menurut Faisal Yatim (2003), penyandang akan berbuat semaunya sendiri, baik cara berpikir maupun berperilaku.
- Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandang autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, 2002).
- Yuniar (2002) menambahkan bahwa Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autisme berlanjut sampai dewasa bila tak dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah terlihat sebelum usia tiga tahun.
- Yuniar (2002) mengatakan bahwa Autisme tidak pandang bulu, penyandangnya tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan penyandang Autisme ialah 4 : 1.
Ciri-Ciri Autisme
Berikut ini terdapat beberapa ciri-ciri autisme, terdiri atas:
- Komunikasi
- Tidak berbicara atau sangat terbatas.
- Kehilangan kata-kata sebelum bisa mengatakan.
- Kesulitan mengekspresikan keinginan dan kebutuhan dasar.
- Kurang dapat membangun kosakata.
- Bermasalah mengikuti arah atau menemukan benda-benda yang bernama.
- Mengulangi apa yang dikatakan (echolalia).
- Bermasalah menjawab pertanyaan.
- Ucapan yang terdengar berbeda karena nada tinggi.
- Keterampilan sosial
- Kontak mata buruk dengan orang atau benda.
- Kurang dalam bermain keterampilan.
- Menjadi terlalu fokus pada suatu topik atau benda-benda yang menarik bagi mereka.
- Masalah dalam berteman.
- Menangis,marah, tertawa, atau tertawa tanpa alasan yang diketahui atau pada waktu yang salah.
- Menyukai sentuhan atau pelukan.
- Reaksi terhadap lingkungan sekitar mereka
- Gerakan tangan goyang, mengepakkan atau lainnya (bergerak sendiri tanpa disadari).
- Tidak memperhatikan hal-hal yang dilihat atau didengar.
- Bermasalah terhadap perubahan dalam rutinitas.
- Menggunakan benda-benda dengan cara yang tidak biasa.
- Tidak takut terhadap bahaya nyata.
- Menjadi sangat sensitif atau tidak cukup sensitif terhadap sentuhan, cahaya, atau suara (misalnya, tidak menyukai suara keras atau hanya merespons ketika suara yang sangat keras, disebut juga gangguan integrasi sensorik).
- Kesulitan makan (hanya menerima makanan yang dipilih, menolak tekstur makanan tertentu).
- Gangguan tidur.
Penyebab Autisme
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini.
Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme. Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia. Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. “Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen,” kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.
Jenis-Jenis Autisme
Menurut ICD-10 “International Classification of Diseases, WHO 1993” dan DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994), autisme diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu sebagai berikut “Prasetyono, 2008:54-65”:
- Autisme Masa Kanak-Kanak “Childbood Autism”
Autisme pada masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur tiga tahun. Ciri-ciri gangguan autisme ini ialah kualitas komunikasinya tidak normal, adanya gangguan dalam kualitas interkasi sosial dalam aktivitas, perilaku serta interesnya sangat terbatas, diulang-ulang dan streotip.
- Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified “PDD-NOS”
Gejala ini tidak sebanyak seperti pada autisme masa kanak-kanak. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga anak-anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi facial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau.
- Sindrom Rett “Rett’s Syndrome”
Gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita. Sekitar umur enam bulan, bayi mulai mengalami kemunduran perkembangan. Pertumbuhan kepala mulai berkurang pada umur lima bulan sampai empat tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali, gerakan yang terarah hilang dan disertai dengan gangguan komunikasi serta penarik diri secara sosial. Selain itu terjadi gangguan berbahasa, perseptivitas, ekspresif, serta kemunduran psikomotor yang hebat. Hal yang sangat khas adalah timbulnya gerakan tangan yang terus menerus.
- Gangguan Disintegratif Masa Kanak-Kanak “Childbood Disintegrative Disorder”
Gejala timbul setelah umur tiga tahun. Perkembangan anak sangat baik selama beberapa tahun sebelum terjadinya kemunduran yang hebat. Pertumbuhan yang normal terjadi pada usia 1 sampai 2 tahun, kemudian anak akan kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik.
- Asperger Syndrome “AS”
Lebih banyak terdapat pada anak laki-lakim perkembangan bicaranya tidak terganggu tetapi mereka kurang berkomunikasi secara timbal balik. Berbicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang menggunakan bahasa tubuh. Sangat terobsesi kuat pada suatu benda mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesuliyas dalam pelajaran di sekolah.
Tingkatan Autisme
Berdasarkan tingkat kecerdasan “IQ”, autisme dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu ” Pusponegoro dan Solek 2007″:
- Low Functioning “IQ rendah”
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning “IQ rendah” maka di kemudian hari hampir dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan untuk hidup mandiri sepanjang hidup penderita memerlukan bantuan orang lain. - Medium Functioning “IQ sedang”
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning “IQ sedang” maka dikemudian hari masih bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk anak penderita autis. c. High Functioning “IQ tinggi”. Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning “IQ tinggi” maka dikemudian hari bisa hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam pekerjaannya dapat juga hidup berkeluarga.
Menurut Childhood Autism Rating Scale “CARS”, autisme dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu “Mujiyanti, 2011”:
- Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autisme ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali. - Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autisme masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan. - Autis Berat
Anak autisme yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autisme memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuasnya, anak autisme tetap memukul-mukulkan kepalanya, anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur.
Cara Penanganan Autis
Berikut ini terdapat beberapa cara penanganan autis, terdiri atas:
- Kenali Anak ; Awal Menangani Anak Autis
Hanya sedikit anak-anak autis yang “buruk” dengan sengaja, banyak dari mereka yang memiliki perilaku yang sulit. Setiap anak berbeda, dan mengetahui anak sendiri adalah kunci untuk mengambil tindakan. Apakah anak ekstra-sensitif terhadap suara dan cahaya? Apakah dia perlu banyak “Input Sensorik” (input/masukan melalui pancaindra)? Apakah dia akan salah mengerti dengan pendekatan Anda? Semakin banyak Anda tahu, semakin mudah untuk menangani anak autis.
- Ubah Keinginan Anda Terhadap Anak
Orang tua mungkin mengajarkan anak mereka untuk duduk diam selama waktu makan. Akan tetapi itu bukan keinginan yang wajar bagi kebanyakan anak autis. Cobalah memulai dengan tujuan yang lebih kecil, seperti duduk diam selama tiga menit, makan dengan sendok, atau apa pun yang kita pikir dia bisa menangani. Kemudian barulah membangun tujuan yang lebih besar, seperti duduk diam selama waktu makan.
- Ubah Lingkungan Tempatnya Berada
Keamanan adalah kuncinya. Demi menangani anak autis, menciptakan lingkungan yang aman adalah sebuah tantangan. Karena begitu banyak perilaku anak mungkin memiliki potensi yang membahayakan dirinya, sangatlah penting untuk mengambil tindakan pencegahan, seperti membaut rak pada dinding dan/atau lantai dengan kencang, atau memastikan lemari berdiri dengan aman. Atau bisa juga menutupi dengan benda lain yang bisa mencegahnya untuk memanjat.
- Pertimbangkan Kemungkinan Sumber Perilaku
Banyak anak autis sangat menginginkan, atau sebaliknya “over-respond” terhadap Input Sensorik. Sebagian lagi berganti-ganti diantara keduanya. Sangat sering perilaku “buruk” anak autis sebenarnya adalah reaksi terhadap Input Sensorik berlebih, atau terlalu sedikit. Dengan hati-hati mengamati anak, kita mungkin dapat mengetahui penyebabnya.
- Hilangkan Input Sensorik Berlebih Untuk Menangani Anak Autis
Jika reaksi anak berlebih terhadap Input Sensorik, ada banyak cara untuk mengubah situasi ini. Tentu saja, pilihan pertama adalah hanya menghindari penyebab Input sensorik berlebih seperti parade, taman hiburan dan sejenisnya. Ketika itu tidak bisa dilakukan, kita bisa menggunakan sumbat telinga, mainan yang bisa mengalihkan, atau cara membujuk lainnya untuk menangani anak autis sementara waktu.
- Menyediakan Input Sensorik Untuk Menangani Anak Autis
Jika anak menabrakkan diri di sofa, memanjat dinding atau berputar-putar, kemungkinan dia sedang membutuhkan “Input Sensorik”. Kita dapat menyediakan Input Sensorik dalam beberapa cara yang tepat. Beberapa orang menyarankan menangani anak autis dengan pelukan hangat, lainnya menyarankan menghimpitnya menggunakan bantal sofa dengan hati-hati, menggulung mereka seperti “hot dog” dalam selimut, atau memberi mereka rompi atau selimut yang diberi pemberat.
- Cari Jalan Keluar Positif Untuk Perilaku Tidak Biasa
Sementara memanjat di pusat hiburan mungkin adalah perilaku “buruk”, memanjat di tempat olahraga bisa menjadi cara yang bagus untuk membangun otot dan persahabatan, pada saat yang sama. Sementara berputar-putar di toko kelontong mungkin aneh, adalah hal wajar untuk berputar di ayunan ban. Yang menjadi masalah di satu tempat, mungkin menjadi manfaat jika dilakukan di tempat lain.
- Nikmati Keberhasilan Anak
Kita sebagai orang tua, adalah yang seharusnya memberi semangat atas keberhasilan pertama anak. Kita senang ketika ia mengatakan “ya” untuk sebuah ajakan bermain, melengkapi kalimat, atau menendang bola bolak balik beberapa kali. Dia mungkin tidak akan menjadi kapten tim sepak bola, tetapi dia berhasil menjadi dirinya sendiri.
- Kurangi Kekhawatiran Terhadap Opini Orang Lain
Anak benar-benar melakukan pekerjaan dengan baik di toko kelontong. Dia mungkin mengepakkan tangannya sedikit, tapi itu bukan masalah besar. Sampai kita menangkap mata seorang ibu, dari gadis kecil yang sempurna, menatap anak kita. Tiba-tiba kepakan anak kita tampak seperti masalah yang sangat besar, dan kita menemukan diri membentak anak, “..letakkan tangan ke bawah…!”. Ini tidak mudah, tetapi penting untuk diingat bahwa dia autis, dia tidak dengan sengaja mempermalukan kita.
- Temukan Cara Bergembira Bersama
Tidaklah mudah untuk menyatukan autisme dan kegembiraan. Tetapi jika kita berpikir, ketika sedang menangani anak autis; menggulung anak hingga seperti “hot dog”, memantul di trampolin atau bahkan duduk dan berpelukan bersama-sama dapat menjadi sangat menyenangkan. Daripada mengkhawatirkan tentang hasil terapis dari setiap tindakan, cobalah saja menikmati kekonyolan, gelitikkan, pelukan … dan anak kita sendiri. Setidaknya untuk sementara waktu.
Terapi Autis
Berikut ini terdapat beberapa terapi autis, terdiri atas:
- Terapi Biomedik
Terapi biomedik ini dikembangkan oleh sekelompok dokter yang dinamakan Defeat Autism Now. Dalam terapi ini lebih memfokuskan pada pembersihan dari fungsi-fungsi abrormal yang ada di dalam otak. Dalam terapi ini diharapkan dapat membuat fungsi dari susunan syaraf bekerja optimal sehingga nantinya gejala gejala pada autism akan lebih berkurang bahkan dapat menghilang. Terpai biomedik ini biasanya melengkapi terapi terapi lainnya yang mana dengan cara memperbaiki dari dalam. Obat-obatan yang digunakan pun juga berada dalam pengawasan dokter spesialis yang memang mempelajari tentang autism.
- Intervensi Pendidikan
Terapi edukatif ini memang paling banyak digunakan dalam mengatasi gejala-gejala autisme. Intervensi terapi pendidikan ini mencakup beberapa jenis terapi lainnya mulai dari ABA, terapi okupasi, terapi wicara, terapi fisik, terapi perilaku, terapi sosial, terapi visual, dan lainnya.
- Terapi Okupasi
Terapi ini berguna untuk dapat melatih otot-otot halus yang ada pada anak. Menurut penelitian yang ada, hampir semua kasus anak autisme memiliki keterlambatan pada perkembangan motorik halus. Gerak geraiknya cenderung sangat kasar dan kaku, mereka juga kesulitan dalam memegang benda dengan benar, sulit melakukan aktivitas semisal menyuapkan makanan dan lainnya. Sehingga dengan adanya terapi ini akan membuat anak-anak terlatih agar dapat membuat segala otot-otot di dalam tubuh dapat berfungsi dengan tepat.
- Terapi Perilaku
Terapi ini lebih memfokuskan dalam pemberian reinforecement positif dalam setiap kali anak merespon benar sesuai dengan instruksi yang sudah diberikan. Tidak ada hukuman atau punishment di dalam menjalankan terapi ini. Namun jika anda menjawab salah maka dirinya akan mendapat reinforcement positif yang anak suaki. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta kepatuhan anak kepada aturan-aturan yang ada. Untuk mendapatkan hasil yang siginifikan tentu saja hal ini harus diterapkan secara intensif.
- Applied Behaviorial Analysis (ABA)
Terapi ini memang di desain khusus untuk anak dan sudah mengalami beberapa rangkaian pengujian pada anak dengan gejala autisme. Terapi ini paling banyak digunakan di Indonesia. Sistem ini dilakukan dengan memberikan pelatihan khusus terhadap anak dalam bentuk hadiah/pujian serta mengukur kemajuan dari anak tersebut.
- Terapi Fisik
Beberapa orang yang menyandang autisme biasanya mengalami gangguan pada perkembangan motorik kasarnya. Kadang kala tonus otot menjadi lembek sehingga membuat penderita tidak kuat berjalan. Keseimbangan tubuh juga menjadi kurang baik dan lainnya. Fisioterapi serta terapi integrasi sensoris akan membantu banyak dalam menguatkan otot-otot tersebut serta memperbaiki keseimbangan dari tubuh anak.
- Terapi Wicara
Hampir semua kasus pada anak-anak menyandang autisme memiliki kesulitan dalam bebricara serta berbahasa. Terkadang kemampuan bicara cukup berkembang, namuan tidak mampu digunakan untukberkomunikasi maupun berinteraksi dengan orang lainnya.
- Terapi Musik
Terapi musik adalah penggunaan musik agar dapat membantu integrasi fisik, emosi, serta psikologis individu. Terapi musik ini juga digunakan sebagai treatment dari sebuah penyakit ataupun ketidakmampuan (Canadian Association for Music Therapy, 2002).
- Terapi Visual
Anak yang memiliki gejala autisme akan lebih mudah belajar dengan cara melihat. Sehingga hal ini yang melatarbelakangi terapi ini digunakan dalam penyembuhan gejala autismen. Terapi visual merupakan cara atau metode belajar berkomunikasi dengan menggunakan gambar serta beberapa video game suntuk pengembangan ketrampilan komunikasi anak.
- Terapi Perkembangan
Terapi ini memiliki dasar jika keadaan anak autisme membuat anak melewatkan sedikit bahkan banyak sekali kemampuan dalam bersosialisasi. Yang termasuk di dalam terapi perkembangan ini antara lain adalah Floortime, yang mana dapat dilakukan orang tua agar membantu interaksi serta kemampuan bicara anak menjadi lebih berkembang.
- Terapi Bermain
Terapi ini merupakan pemanfaatan dari pola permainan sebagai sebuah media di dalam terapis, melalui ekspresi diri dan eksplorasi. Dalam terapi ini terapis akan bermain dengan menggunakan kekuatan terapiutik permainan yang dapat membantu dalam menyelesaikan kesulitan psikososial serta mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal.
Demikianlah pembahasan mengenai Pengertian Autisme – Menurut Para Ahli, Ciri, Penyebab, Jenis, Tingkatan, Cara dan Terapi semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua,, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂
Baca Juga Artikel Lainnya :