Ceramah adalah – Pengertian, Format, Ciri, Hal, Prinsip, Strategi & Contoh – Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai Ceramah yang dimana dalam hal ini meliputi pengertian, format, ciri, hal, prinsip, strategi dan contoh, untuk lebih memahami dan mengerti simak ulasan dibawah ini.
Pengertian Ceramah
- Menurut Dewa Ketut Sukardi (1984), ceramah narasumber / tokoh berkarir adalah berupa seperangkat kegiatan pemberian informasi kepada siswa tentang berbagai pengalaman, usaha-usaha, hambatan-hambatan, keberhasilan-keberhasilan dari nara sumber/ tokoh berkarir.
- Menurut Kamus Dewan edisi ke-4, ceramah ditakrifkan sebagai ucapan membicarakan sesuatu perkara dan pengemukaan fikiran atau idea-idea melalui perucapan yang disampaikan kepada khalayak.
- Ceramah merupakan pengucapan tentang bidang tertentu yang disampaikan oleh orang yang pakar dalam bidang tersebut.
- Menurut Siti Hajar Abd.Aziz, ceramah adalah proses komunikasi dengan orang lain dan khalayak berperan sebagai pendengar.
- Ceramah bermaksud sebagai satu komunikasi interpersonal yang disampaikan secara lisan tentang sesuatu perkara seperti ceramah tentang agama, politik, ekonomi, dan sebagainya yang disampaikan oleh individu yang berkelayakan tentang bidang yang mereka miliki.
Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Musyawarah Adalah
Format Ceramah
Berikut ini terdapat beberapa format ceramah, terdiri atas:
1. Pendahuluan
-
Salam dan ucap salam
Contoh : selamat pagi dan salam bagi yang beragama islam.
-
Penghormatan protokol
Contoh : yang amat terhormat (perdana mentri), yang terhormat (wakil rakyat, senator)
- Menyatakan sepintas lalu apa yang akan kita perkatakan dengan panjang lebar dalam ceramah kelak.
2. Isi
- Idea utama : isi-isi utama yang akan disampaikan dengan panjang lebar.
- Susunan isi : idea-idea utama perlu disusun dengan baik agar memudahkan pendengar.
- Sokongan data : menyediakan contoh-contoh yang berkaitan.
3. Penutup
- Membuat kesimpulan keseluruhan isi.
- Kenyataan untuk diingati: mengulang semula petikan-petikan yang menarik.
- Penyudah bicara : merupakan noktah dalam penyampaian.
Contoh: Sekian, terima Penutup kasih.
Ciri-Ciri Ceramah
Berikut ini terdapat beberapa ciri-ciri ceramah, terdiri atas:
- Berpengetahuan
- Berkemahiran berucap
- Berkenyakinan
- Berkepribadian dan berperawakan baik
Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Macam-Macam Najis
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ceramah dari narasumber
Terdiri atas:
- Bahan ceramah hendaknya diperbanyak secara tertulis sehingga setiap siswa memiliki bahan yang diinformasikan.
- Sebaiknya untuk mendapatkan gambaran tentang informasi yang diceramahkan , orang tua/wali siswa dan tokoh masyarakat ikut dilibatkan.
- Narasumber hendaknya dihubungi sebelum ceramah diberikan.
- Hendaknya kegiatan ceramah disusun secermat mungkin, sehingga nara sumber, pembimbing/guru, siswa dan orang tua memahami kegiatanya.
- Sebelum ceramah diberikan terlebih dahulu hendaknya siswa diberikan gambaran kegiatan.
- Setiap kali ceramah diselenggarakan hendaknya selalu dikaitkan dengan kegiatan lainnya, misalnya diskusi, dan pembuatan laporan.
- Kegiatan ceramah hendaknya berkaitan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah yang bersangkutan.
Prinsip Asas Penyampaian Ceramah
Berikut ini terdapat beberapa prinsip asas penyampaian ceramah, terdiri atas:
1. Pengumpulan
- Seseorang penceramah yang berkesan hendaklah mahir mengumpul maklumat.
- Maklumat yang membentuk isi ceramah diperoleh melalui pembacaan, berdiskusi dan sebagainya.
2. Penyusunan
- Maklumat yang telah dikumpulkan hendaklah disusun supaya mudah diikuti oleh audiens.
- Paling asas, sesuatu ucapan itu hendaklah jelas dari segi pengenalan, isi dan penutupnya.
3. Penguasaan
- Penceramah hendaklah sedaya upaya menguasai isi ceramahnya.
- Penguasaan bukan bermaksud menghafal tetapi benar- benar memahami apa yang bakal disampaikan.
- Gaya Bahasa
- Istilah-istilah yang sukar untuk difahami seharusnya dielakkan agar pendengar dapat memahami isi ceramah dengan lebih jelas.
- Sekiranya penceramah menggunakan istilah-istilah tersebut, dia haruslah mentakrifkannya dengan jelas.
4. Penyampaian
- Gaya penyampaian penceramah juga merupakan perkara yang amat mustahak.
- Penyampaian termasuklah pengawalan suara, penggayaan bahasa badan khususnya mimik muka dan gerakan tangan, dan penampilan diri.
Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Syarat Wajib Haji
Strategi Penyampaian Ceramah yang Baik
Berikut ini terdaapt beberapa strategi penyampaian ceramah yang baik, terdiri atas:
- Menangani kegugupan
- Menganalisis audies, majelis dan diri sendiri
- Mengumpulkan idea dan maklumat
- Mengatur bahan ceramah
- Merancang pengenalan ceramah
- Merancang penutupan ceramah
- Membuat latihan
- Menyampaikan ceramah
Alat Bantu Penyampaian Ceramah
Berikut ini terdapat beberapa alat bantu yang digunakan dalam penyampaian ceramah, terdiri atas:
-
Mikrofon
Digunakan untuk memperkuatkan suara apabila berceramah terutama apabila menghadapi audiens yang ramai.
-
Mikrofon Stand
Membolehkan mikrofon diletakkan secara statik agar penceramah dapat menggayakan bahasa badan.
-
Pembesar Suara
Lazimnya digunakan bersama mikrofon bagi membesarkan volume suara.
-
Postrum
Merupakan tempat untuk meletakkan nota-nota dan segelas air (sekiranya disediakan).
-
Komputer riba
Digunakan untuk membantu penceramah bagi memperjelaskan isi ceramah kepada audiens.
-
Projektor
Digunakan bersama komputer riba bagi menayangkan apa yang terkandung dalam persembahan slaid.
-
Overhead projektor (OHP)
Sudah jarang digunakan pada masa kini. Walau bagaimanapun, alat ini masih boleh membantu para penceramah menerangkan isi ceramah dengan lebih jelas.
-
Risalah
Lazimnya diedar apabila ketiadaan alat bantu visual risalah yang diedarkan mestilah berkaitan dengan topik ceramah yang disampaikan.
Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Perbedaan Nabi dan Rasul
Contoh Teks Ceramah
Berikut ini terdapat beberapa contoh teks ceramah, terdiri atas:
Pelajaran dari Bani Israil
Telah dila’nat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil atas lisan Dawud dan ‘Isa Anak Mayam. Itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh buruk perilaku mereka. (QS al-Ma-idah(5):78-79.
Imam ‘Abdurrahman bin Abu Bakar yang lebih dikenal sebagai Jalaluddin as-Syuyuthi, dalam kitab tafsirnya ad-Duru l-Mantsuur fi t-Ta-wiili bi l-Ma-tsuur menukil hadits yang terdapat dalam Musnad ad-Dailami dengan sanad marfu’, bahwa Nabi Muhammad saaw bersabda, “Bani Israil telah membunuh empat puluh tiga orang nabi di waktu pagi, kemudian seratus dua belas pengikut yang setia kepada para nabi itu bangkit, menyuruh mereka berbuat ma’ruf serta mencegah mereka berlaku munkar. Keseratus dua belas penyeru kebenaran ini pun mereka bunuh pada penghujung siang. Maka merekalah yang disebut Allah, “Telah dila’nat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil … (hingga akhir ayat).”
Dalam beberapa ayat lain dalam Quran (QS al-Baqarah(2):61, Ali ‘Imran(3):21) disebutkan bahwa Allah mengadzab dan menimpakan kehinaan kepada Bani Israil karena kebiadaban mereka membunuh para nabi dan utusan Allah. Dan hal itu mereka lakukan dalam makna harafiah. Artinya, mereka benar-benar membunuh nabi-nabi, secara fisik. Nabi Zakaria dan Nabi Yahya ‘alaiHima s-salam mereka bunuh. Ada kalanya Allah berkehendak menyelamatkan hamba terkasih-Nya dari tangan-tangan jahat mereka.
Nabi ‘Isa a.s. mereka upayakan pembunuhannya, meskipun melalui tangan otoritas politik waktu itu, Gubernur Pontius Pilatus. Tapi kita tahu dari kisah dan sejarah bahwa otak dari seluruh upaya pembunuhan (penyaliban) terhadap Putra Maryam a.s. ini adalah para rahib Yahudi. Kenapa hal itu mereka lakukan? Karena mereka risi mendengar seruan da’wah. Kuping mereka panas, hati mereka tersengat dengan gelombang seruan risalah yang mereka pandang telah menempatkan mereka pada posisi “tertuduh”.
Bagi mereka, akan habis perkara jika nabi penyeru kebenaran pengancam kebatilan itu dihabisi saja. Para pengikut nabi, sebagaimana dalam hadits di atas, yang bangkit meneruskan jejak risalah, tanpa ampun juga mereka bunuh dengan maksud untuk segera menghentikan da’wah mereka dan menakut-nakuti orang lain yang akan coba-coba melakukan hal yang sama.
Manusia dalam ruang kekinian, termasuk di dalamnya kaum Muslimin, memang tidak secara terang-terangan “membunuh” para nabi dan pewaris mereka, yaitu para ‘ulama. Akan tetapi, hakikat pembunuhan para nabi dan juru da’wah dari zaman ke zaman sesungguhnya sama dengan sikap sebagian besar manusia di zaman ini, yaitu menolak da’wah dan mengingkari seruan amar ma’ruf nahi munkar. Ibnu Haja al-‘Asqalani menyitir Nabi saaw ketika menubuwwahkan, “Akan datang suatu masa ketika manusia lari meninggalkan ulama.
Jika masa itu telah tiba, Allah akan membiarkan ummat dikuasai oleh penguasa yang bengis, akan dicerabut barakah dari apapun yang mereka lakukan, dan mereka akan keluar dari dunia tanpa membawa iman.” Kita tidak bisa menutup mata dari pelbagai indikasi yang menunjukkan bahwa masa itu telah tiba. Dan kita mungkin saja termasuk dalam kelompok yang “lari meninggalkan ‘ulama”. ‘Ulama memang tidak kita bunuh, namun ajaran dan fatwa-fatwa yang mereka berikan kita patahkan, kita matikan, dan tidak kita biarkan hidup dalam keseharian kita.
Pengajian, mimbar-mimbar agama Islam, beragam tayangan yang dijenuhi simbol-simbol keislaman memang marak dan mudah sekali ditemui di manapun. Tak ada satu media publik manapun saat ini yang mau ketinggalan tidak menyisipkan rubrik keislaman dalam bisnis mereka. Tapi kenapa mentalitas bangsa ini makin memprihatinkan.
Show rebut kuasa, penggelapan pajak, pengadilan jalanan, pembalakan liar, praktek-praktek culas di lembaga peradilan dari tingkat bawah hingga mahkamah paling agung, tempat-tempat maksiat dari yang liar berskala kecil hingga yang berizin, beromzet jumbo dan sangat terorganisir, menjadi keseharian bangsa ini. Bukankah itu menunjukkan bahwa ruh risalah telah mati dalam perjalanannya sebelum sampai di hati ummat?
Dalam keadaan semacam ini, jika penggal berikutnya dari ayat di atas, “Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh buruk perilaku mereka …” juga terpenuhi pada ummat zaman ini, sudah lengkaplah seluruh prasyarat bagi turunnya la’nat Allah atas sekeping bumi Allah di kiri kanan khat al-istiwa (khatulistiwa) ini. Jika kedurhakaan telah menjadi mainstream (arus utama), riak-riak kecil yang berlawanan arah tentu menjadi pilihan yang sangat tidak menarik, tidak populer, dan kontraproduktif terhadap setiap upaya menggapai kesejahteraan hidup menurut ukuran orang banyak.
Sungguh inspirasional apa yang diingatkan Imam ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berikut dalam Nahju l-Balaghah himpunan Sayyid Radli, “Wahai manusia, jangan sekali-kali merasa kesepian hanya disebabkan oleh sedikitnya orang yang berada di sana. Sungguh kebanyakan manusia telah berkumpul mnghadapi “hidangan” yang hanya sebentar saja kenyangnya, tetapi lama sekali laparnya.
Wahai manusia, sungguh hanya ada dua hal yang menggabungkan manusia, yaitu persetujuan atas sesuatu da penolakan terhadapnya. Seperti halnya pembunuh unta kaum Tsamud; yang menyembelihnya hanya satu orang, namun ‘allah swt menjatuhkan adab atas mereka semua, disesabkan mereka menyetujui perbuatan itu dan tidak menentangnya. Allah berfirman: … lalu mereka sembelih unta itu dan jadilah meeka orang-orang yang penuh penyesalan … (QS asy-Syu’ara(26):157). Sebagai akibatnya mereka dibenamkan ke dalam tanah dengan suara berdentam, bagaikan besi bajak yang dipanaskan menembus tanah yang lunak.”
Sikap masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kemaksiatan yang dilakukan beberapa gelintir orang dipandang sebagai pilihan yang paling aman. Sikap ini banyak ditempuh justeru oleh orang-orang shalih di masyarakat, karena dipandang tidak berisiko terhadap keselamatan jiwa, keluarga, bahkan harta mereka.
Sebagian ummat memang berpandangan, bahwa karena sifat agama nafsi-nafsi (urusan pribadi), seorang yang telah menempuh jalur keshalihan dengan mendisiplinkan diri menjalankan perintah dan menahan diri dari larangan agama tidak perlu campur tangan dalam urusan kemaksiatan orang lain. Toh pelaku maksiat itu juga nanti yang harus menanggung akibat perbuatannya sendiri.
Buikankah Allah berfirman, “Jika kalian berbuat baik, perbuatan baik itu untuk kalian sendiri, dan jika berbuat jelek, akibat kejelekan itu harus ditanggung sendiri” (QS al-Isra(17):7)? Bukankah, “Dan masing-masing mereka akan menghadap-Nya sendiri-sendiri di Hari Pengadilan” (QS Maryam(19):95)? Dan banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa agama bersifat orang per orang, bukan urusan kita orang lain masuk surga ataupun neraka.
Tetapi mari kita simak penuturan ‘Aisyah r.a., ‘Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda, “Perintahkan yang ma’ruf, cegah kemunkaran sebelum kalian berdoa, jika kalian ingin doa kalian terjawab.” (HR Ibnu Majah). Juga hadits yang sudah amat masyhur di telinga kita, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah meriwayatkan sabda Nabi saaw, “Siapa saja dari kalian melihat kemunkaran, hentikan dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.”
Dan, di luar kesadaran banyak orang yang memilih menjadikan agama “urusan pribadi”, hadits ini, sebagai bentuk tafsir bi l-ma-tsur dari QS al-Anfal(8):25, “Waspadalah terhadap bencana yang tidak hanya akan menimpa mereka yang zhalim saja di antara kalian” perlu mendapat penekanan. Rasulullah saaw bersabda, “Sungguh Allah tidak akan mengadzab orang banyak akibat perbuatan beberapa gelintir orang, hingga orang banyak itu melihat kemunkaran terselengara di tengah mereka, dan mereka mampu menghentikannya namun tidak juga menghentikannya. Jika hal ini terjadi, Allah akan menurunkan bencana yang menimpa kelompok yang banyak maupun yang sedikit.” (HR Ahmad dan al-Khuthaib).
Jelas sekali, bahwa meskipun agama adalah urusan pribadi, dan ayat-ayat serta berbagai atsar yang menyebutkan hal itu sama sekali tidak mengandung cacat, namun perlu ditegaskan, bahwa kita akan dihisab penuh di akhirat dan juga dihisab sebagian di dunia karena amal-amal jama’i kita. Artinya, kita secara pribadi per pribadi bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan atau tidak kita lakukan sehubungan dengan ummat.
Jika ada bagian ummat yang didera derita, lalu kita tidak bergerak untuk membantunya, maka kita cacat dalam pandangan Allah. Dan pada hari Qiyamat, akan ada gelombang manusia yang berpenampilan babi dan kera karena apa yang tidak mereka lakukan ketika di dunia, pada saat di tengah mereka terselenggara tontonan kedurhakaan terhadap ajaran Allah.
Nabi saaw bersabda, “Demi Dzat Yang aku berada dalam genggaman-Nya, akan keluar dari ummatku dari kubur dengan bentuk kera dan babi. Dulunya, mereka saksikan ahli maksiat, dan mereka berdiam diri meski berkemampuan menghentikannya.” (HR Imam Malik)
Demikian itulah agaknya alur pemahaman yang bisa kita jabarkan untuk memahami betapa kita, ummat Islam, sebagai satu-satunya ummat yang menurut keyakinan kita masih ketempatan wahyu yang orisinil, asli, dan terjaga hingga Hari Akhir, justeru menjadi ummat yang paling tidak berhasil menikmati berkahnya wahyu. Rasulullah saaw jauh-jauh hari sudah merisaukan akan jatuhnya ummat ini, dengan sabdanya, “Ketika umatku telah mengagungkan dunia, maka dicabut kewibawaan Islam; ketika amar ma’ruf nahi munkar ditinggalkan, diharamkan barakahnya wahyu; dan ketika umatku mencaci saudaranya, mereka jatuh dalam pandangan Allah.” (HR al-Hakim dan at-Tirmidzi).
Baca Juga Artikel yang Mungkin Terkait : Angka Dalam Bahasa Arab
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
“Segolongan dari umatku akan senantiasa memperjuangkan kebenaran dengan terang-terangan. Siapapun yang memusuhi mereka tidak membuat mereka gentar, hingga datang putusan Allah, sementara mereka berada dalam kebenaran.” (HR al-Bukhari, Ahmad dan ath-Thabrani).
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang diperintahkan Allah swt atas setiap hamba beriman. Amar ma’ruf berarti menyerukan, mengajak, menyuruh, atau menuntut dilaksanakannya segala perbuatan yang baik menurut syari’at Islam; sedangkan nahi munkar adalah upaya mencegah, menolak, menghalangi, melarang, atau menghentikan setiap bentuk perilaku, sikap dan ucapan yang dilarang oleh agama, seperti
pencurian, korupsi, pelacuran, perjudian, minuman keras, pornografi, pornoaksi, penyakit masyarakat, kebohongan yang merugikan masyarakat, yang semua itu dalam bahasa agama dikenal sebagai maksiat (ma’shiyat). Sebagian mufasir menyatakan, ma’ruf adalah setiap perbuatan yang mendekatkan diri perlakunya kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkannya dari Allah.
Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitabnya Minhaju l-Muslimin menegaskan wajibnya amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap Muslim yang mukallaf (dewasa dan berakal waras), berkemampuan, tahu tentang yang ma’ruf, melihat perkara ma’ruf ditinggalkan manusia, atau memahami yang munkar, menyaksikan perkara munkar dikerjakan manusia, mampu memberikan perintah, dan mampu melakukan perubahan dengan tangannya atau lisannya.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban agama terbesar setelah kewajiban iman kepada Allah ta’ala, sebab Allah menyebutkannya dalam Quran bersanding dengan iman kepada-Nya, “Kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran(3):110).
Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalam banyak hadits Nabi saaw, mereka yang menegakkan al-haqq, gigih beramar ma’ruf nahi munkar, disebut al-muhtasib. Pujian Allah dan Rasul-Nya, juga decak kagum hamba-hamba yang shalih menggerajak atas mereka. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan perbuatan dan ciri umat terbaik, sebagaimana ditandaskan oleh Allah dalam ayat berikut, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran(3):104).
Menurut ayat di atas pula (QS Ali ‘Imran(3):04), amar ma’ruf nahi munkar adalah pintu gerbang menuju keberuntungan. Jika ingin umat ini jaya, berhasil meraih kembali kebesaran, keagungan, kegagahan serta kepemimpinannya di tengah percaturan dunia, maka amar ma’ruf nahi munkar jawabannya.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah basis untuk membangun akhlak yang shalih. Dalam QS Ali ‘Imran(3):114, Allah menegaskan, “Mereka beriman kepada Allah dan Hari Penghabisan; mereka menyuruh (manusia mengerjakan) yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar dan bersegera melakukan bermacam kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”
Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas mulia setiap nabi yang dikirim Allah kepada manusia. “… (yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di tangan mereka; (Nabi itu) menyuruh mereka perbuatan ma’ruf dan melarang mereka kemunkaran, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang keji serta menyingkirkan dari mereka beban dan belenggu. Maka orang banyak yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (Quran). Mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-A’raf(7):157).
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan sikap dan perilaku seorang mu-min sejati. “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS al-Hajj(22):41).
Amar ma’ruf nahi munkar Penyebab turunnya rahmat Allah. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS at-Taubah(9):71).
Dan cukuplah, jika kita menyadari, bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang diperintahkan Allah swt.
“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman(31):17.
Sikap Lembut atau Keras?
Bagaimana amar ma’ruf nahi munkar dilaksanakan? Haruskah dengan sikap keras ataukah boleh dengan kelembutan, bahkan senyuman? Sikap lembut dalam amar ma’ruf nahi munkar diutamakan manakala ditinggalkannya yang ma’ruf dan dilakukannya kemunkaran atau kemaksiatan masih bersifat individual atau perorangan.
Yang belum beramal ma’ruf dihimbau untuk beramal, dan yang melakukan kemunkaran dinasihati untuk menghentikannya, sesuai dengan arahan Allah jalla tsana-uhu dalam QS an-Nahl(16):125, “Serulah (manusia) menuju jalan Tuhan-mu dengan bijaksana dan melalui penjelasan yang baik, atau berbantahlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sungguh Tuhanmu lebih tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih paham orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Begitu juga, kelembutan ditampilkan dengan sempurna oleh Baginda Rasulullah saaw dalam beramar ma’ruf nahi munkar kepada orang per orang di antara para sahabat beliau. Dalam QS Ali ‘Imran(3):159, Allah melukiskan, “Maka disebabkan rahmat Allah jua engkau berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menyingkir dari sekelilingmu.”
Akan tetapi, ketika kemunkaran dan kemaksiatan, sudah berubah menjadi bersifat struktural, terorganisir, tersistem, terkoordinir, berjaringan kerja di setiap lapisan masyarakat, bahkan tataran birokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupun judikatif, dan dalam operasionalisasinya dibacking aparat penegak hukum … senyum bukanlah jawaban yang layak diberikan. Harus ditempuh cara-cara tegas dengan melibatkan ‘ulama dan umat yang masih berkesadaran demi tegaknya syari’at Allah subhanaHu wa ta’ala.
Hukum dan Ancaman
Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban bersama). Artinya, jika sudah dilakukan dengan kekuatan yang memadai: gugur kewajiban umat. Nabi Muhammad saaw bersabda, “Demi Allah, hendaklah engkau benar-benar menyerukan yang ma’ruf dan benar-benar mencegah yang munkar, dan sungguh-sungguh menentang tangan-tangan yang zhalim dengan mengembali¬kan¬nya ke jalan yang benar, dan agar menjaganya selalu di jalan yang benar.” (HR Abu Daud dari Abdullah bin Mas’ud).
Penolakan atau keengganan mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar disifati oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Quran sebagai perbuatan buruk yang akan mendatangkan bencana bagi sekelompok umat atau satu negeri. Dalam QS al-Ma-idah(5):79, Allah menegaskan, “Mereka tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sungguh amat buruk apa perbuatan mereka itu.”
Dan Nabi saaw mengancam manusia dengan sangat keras, “Sungguh, jika manusia melihat orang berbuat zhalim dan ia tidak mencegahnya telah dekatlah adzab Allah yang akan menimpa mereka seluruhnya.” (HR at-Tirmidzi dari Abu Bakar ash-Shidiq).
Membiarkan atau mendukung kemunkaran adalah sikap yang sangat buruk, sikap yang akan merugikan banyak orang, bibit kerusakan akhlak generasi bangsa dan pintu masuk bagi berbagai keburukan lainnya. Bila suatu kaum berbuat maksiat, sementara di antara mereka ada yang mampu menegur mereka, namun tidak dilakukannya, melainkan Allah akan menimpakan siksa-Nya secara merata atas mereka dari sisi-Nya. Kita cermati firman Allah Sang Wahidu l-Qahhar, “Dan takutlah kalian terhadap bencana yang tidak hanya akan menimpa orang-orang zhalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS al-Anfal(8):25).
Dan jika jiwa manusia dibiarkan terbiasa dengan keburukan, maka keburukan akan menjadi wataknya. Di sinilah amar ma’ruf nahi munkar dibutuhkan. Jika kebaikan ditinggalkan, dan tidak diperintahkan pada saat ditinggalkan, maka tidak lama kemudian manusia terbiasa meninggalkannya, dan pada akhirnya mengerja¬kan kebaikan tersebut mereka pandang justru sebagai kemunkaran.
Begitu juga kemunkaran jika tidak segera dihentikan dan tidak cepat dihilangkan, tidak lama kemudian kemunkaran itu akan merebak, beredar luas, dan menjadi biasa dilakukan, bahkan dianggap sebagai kewajaran, karena sudah tidak dianggap sebagai kemunkaran oleh pelaku atau masyarakat di sekitarnya. Jika sudah seperti ini, berarti hati nurani (dlamir) umat sudah hilang, dan keadaan semacam itu lekat sekali dengan murka Allah. Oleh karena itu Islam memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar, dan mewajibkannya kepada kaum Muslim guna menjaga kesucian, kebaikan, dan tingginya kedudukan mereka di antara semua bangsa.
Jihad yang Paling Utama
Ketika Rasulullah saaw ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, “Menyatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan an-Nasa-i).
Kenapa jihad paling utama? Karena risikonya sungguh dahsyat. Dan itulah risiko yang “diminta” Allah dalam sebuah perniagaan anti-rugi, sebuah perniagaan yang berbalas surga, yaitu risiko jiwa dan harta. Dalam QS at-Taubah(9):111, Allah menegaskan “tawaran” jual-beli-Nya dengan orang-orang beriman, “Sungguh Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan kepastian surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah; membunuh atau terbunuh. Inilah janji yang benar dari Allah yang tertulis dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Siapa yang lebih tepat berjanji selain Allah? Maka gembiralah kalian dengan jual beli yang telah kalian sepakati itu. Itulah kemenangan yang besar.”
Risiko berupa harta, karena dalam amar ma’ruf nahi munkar barang tentu dibutuhkan pengorbanan uang, biaya transpor, biaya makan, pengorbananan waktu untuk keluarga, pengorbanan waktu untuk mencari nafkah, biaya berorganisasi, dan masih banyak lagi. Risiko jiwa berupa risiko kelelahan, terluka, dipenjara, keluarga diancam dan diteror hingga risiko kehilangan nyawa.
Dan kesudahan dari para muhtasib semacam itu adalah syahadah, kematian syahid, meskipun mungkin ia, seperti Baginda Rasulullah saaw sendiri, menemui ajal di tempat tidur. Dan di sisi Allah, seorang syahid mendapat enam hak istime¬wa, yaitu: 1) Allah mengampuni dosanya sejak awal perjalanan jihadnya dan ia melihat tempat tinggalnya di surga; 2) dihindarkan dari siksa kubur; 3) diberi rasa aman dari goncangan terbesar (Hari Qiyamat); 4) di atas kepalanya diletakkan mahkota mutu manikam yang setiap permatanya lebih baik dari dunia beserta isinya; 5) dinikahkan dengan 72 bidadari surga; 6) dapat memberi syafa’at kepada 70 keluarganya (HR at-Tirmidzi).
Daftar Pustaka:
-
Sukardi, Dewa Ketut.1982. Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah.Surabaya: Usaha Nasional.
-
Walgito,Bimo.2004.Bimbingan dan Konseling Studi dan Karir.Yogyakarta:C.V. Andi Offset.
-
http://www.slideshare.net/Dayudandelion93/penyampaian-ceramah
Demikianlah pembahasan mengenai Ceramah adalah – Pengertian, Format, Ciri, Hal, Prinsip, Strategi & Contoh semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya.