Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses melonjaknya harga secara umum dan terus-menerus (berlanjut), berkenaan dengan mekanisme pasar yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : konsumsi swasta meningkat, kelebihan likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, untuk menyertakan juga karena kurangnya distribusi peluncuran barang. inflasi juga dapat di artikan : merupakan proses penurunan nilai mata uang terus menerus.
Pengertian Inflasi
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tingkat harga tinggi-rendah. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh.
Inflasi Istilah ini juga digunakan untuk berarti peningkatan pasokan uang yang kadang-kadang dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP deflator.
Pengertian Inflasi Menurut Para Ahli
Berikut ini terdapat beberapa pengertian inflasi menurut para ahli, terdiri atas:
- Ekonom Parkin dan Bade
Inflasi adalah pergerakan ke arah atas dari tingkatan harga. Secara mendasar ini berhubungan dengan harga, hal ini bisa juga disebut dengan berapa banyaknya uang (rupiah) untuk memperoleh barang tersebut.
- Menurut Nopirin (1987:25)
Proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus selama peride tertentu.
Rumus Menghitung Inflasi
Adapun rumus untuk menghitung inflasi adalah :
In adalah inflasi, IHKn adalah harga konsumen tahun dasar (dalam hal ini nilainya 100, IHKn-1 adalah indeks harga konsumen tahun berikutnya.Dfn adalah GNP atau PDB deflator tahun berikutnya, Dfn-1 adalah GNP atau PDB deflator tahun awal (sebelumnya).
Teori Inflasi
Secara garis besar ada 3 (tiga) kelompok teori mengenai inflasi. Ketiga teori itu adalah, Boediono (1982: 169-170):
- Teori Kuantitas (persamaan pertukaran dari Irving Fisher: MV=PQ)
Teori kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini mengatakan bahwa penyebab utama dari inflasi adalah:
- Pertambahan jumlah uang yang beredar
- Psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations) di masa mendatang.
Tambahan jumlah uang beredar sebesar x% bisa menumbuhkan inflasi kurang dari x%, sama dengan x% atau lebih besar dari x%, tergantung kepada apakah masyarakat tidak mengharapkan harga naik lagi, akan naik tetapi tidak lebih buruk daripada sekarang atau masa-masa lampau, atau akan naik lebih cepat dari sekarang, atau masa-masa lampau.
- Teori Keynes
Teori Keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya.Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregat yang lebih besar daripada jumlah barang yang tersedia (yaitu, apabila timbul inflationary gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi berkelanjutan. Teori ini menarik karena:
- Menyoroti peranan system distribusi pendapatan dalam proses inflasi,
- Menyarankan hubungan antara inflasi dan faktor-faktor non-ekonomis.
- Teori strukturalis
Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin.Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang.Disebut teori inflasi jangka panjang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor structural dari perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang). Menurut teori ini, ada 2 (dua) ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu :
- Ketegaran yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan karena :
- Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar.
- Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelambanan pertumbuhan ekspor ini berarti kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk konsumsi maupun untuk investasi. Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy).
- Ketegaran yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
Faktor Penyebab Inflasi
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu:
- Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama penyebab timbulnya inflasi di Indonesia. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
- Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang.Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja dibiayai dari dalam negeri dengan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang relatif aman terhadap inflasi.
Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi sejak Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan.
Hal ini menyebabkan pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin.Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara.Pada saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah, seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
- Faktor-Faktor dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) yang ada di Indonesia.Harga bahan pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan.
Ketergantungan perekonomian Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya excess demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota.
Menurut hasil study empiris yang dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), adalah: Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated good; maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya.
Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990- an, telah membengkak dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari 40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah.Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga.Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut.
Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate-price spiral.
Jenis Inflasi
Berikut ini terdapat beberapa jenis inflasi, terdiri atas:
-
Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya. Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi 4 kategori utama, Putong (2002: 260), yaitu:
- Inflasi merayap/rendah (creeping Inflation), yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10% pertahun.
- Inflasi menengah (galloping inflation) besarnya antara 10-30% pertahun.
- Inflasi berat (high inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun.
- Inflasi sangat tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%).
-
Berdasarkan Sebab
Berdasarkan sebabnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu:
- Demand Pull Inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi di satu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan, bila permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.
- Cost Push Inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi (naiknya biaya produksi dapat terjadi karena tidak efisiennya perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh / menurun, kenaikan harga bahan baku industri, adanya tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh yang kuat dan sebagainya).
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha). Perbedaan yang laindari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain, Boediono (1982: 157-158).
-
Berdasarkan Asal
Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu:
- Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara.
- Inflasi yang berasal dari luar negeri, karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, harga-harga barang dan
- juga ongkos produksi relatif mahal, sehingga bila terpaksa negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jualnya di dalam negeri tentu saja bertambah mahal.
Biaya Inflasi
Biaya Inflasi yang diharapkan muncul karena hal-hal sebagai berikut, Putong (2002: 262-263):
- Shoe leather cost (biaya kulit sepatu) adalah istilah yang menyatakan bahwa bila inflasi sesuai dengan harapan maka relatif penetapan suku bunga bank akan lebih besar dari tingkat inflasi.
- Menu cost (biaya menu), yaitu biaya yang muncul karena perusahaan harus sering mengubah harga dan itu berarti harus mencetak dan mengedarkan katalog baru.
- Complaint and opportunity loss cost (biaya komplain dan hilangnya kesempatan). Bila perusahaan dengan sengaja tidak mau mengganti katalog baru, maka perusahaan akanmengalami kerugian karena harga akan naik sementara perusahaan menjual dengan harga lama. Bila tidak sengaja, maka perusahaan akan mendapat komplain dari pelanggan karena harga tidak sesuai dengan catalog (khusus untuk Negara yang konsumerismenya relative sangat baik).
- Biaya perubahan peraturan/undang-undang pajak.
- Biaya ketidaknyamanan hidup.
Biaya inflasi yang tidak diharapkan:
- Redistribusi pendapatan antara debitor dengan kreditor.
- Penurunan nilai uang pensiunan.
Dampak Inflasi
Adapun dampak-dampak dari inflasi yaitu :
- Bila harga barang secara umum naik terus-menerus, maka masyarakat akan panik, sehingga perekonomian tidak berjalan normal, karena di satu sisi ada masyarakat yang berlebihan uang memborong barang, sementara yang kekurangan uang tidak bisa membeli barang, akibatnya negara rentan terhadap segala macam kekacauan yang ditimbulkannya.
- Sebagai akibat dari kepanikan tersebut maka masyarakat cenderung untuk menarik tabungan guna membeli dan menumpuk barang sehingga banyak bank di rush, akibatnya bank kekurangan dana dan berdampak pada tutup atau bangkrut, atau rendahnya dana investasi yang tersedia.
- Produsen cenderung memanfaatkan kesempatan kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan dengan cara mempermainkan harga di pasaran, sehingga harga akan terus menerus naik.
- Distribusi barang relatif tidak adil karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada daerah yang masyarakatnya dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya memiliki banyak uang.
- Bila inflasi berkepanjangan, maka produsen banyak yang bangkrut karena produknya relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada yang mampu membeli.
- Jurang antara kemiskinan dan kekayaan masyarakat semakin nyata yang mengarah pada sentimen dan kecemburuan ekonomi yang dapat berakhir pada penjarahan dan perampasan.
- Dampak positif dari inflasi adalah bagi pengusaha barang-barang mewah (highend) yang mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise).
- Masyarakat akan semakin selektif dalam mengkonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan.
- Inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi semakin dipercaya dan tangguh.
- Tingkat pengangguran cenderung akan menurun karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha, Putong (2002: 263-264).
Cara Mengatasi Inflasi
Berikut ini terdapat beberapa cara mengatasi inflasi, terdiri atas:
-
Kebijaksanaan Moneter
- Mengatur jumlah uang yang beredar (M). Salah satu komponennya adalah uang giral. Uang giral dapat terjadi dalam dua cara, yaitu seseorang memasukkan uang kas ke bank dalam bentuk giro dan seseorang memperoleh pinjaman dari bank berbentuk giro, yang kedua ini lebih inflatoir. Bank sentral juga dapat mengatur uang giral dengan menaikkan cadangan minimum, sehingga uang beredar lebih kecil. Cara lain yaitu menggunakan discount rate.
- Memberlakukan politik pasar terbuka (jual/beli surat berharga), dengan menjual surat berharga, bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar.
-
Kebijakan Fiskal
Dengan cara pengurangan pengeluaran pemerintah serta menekan kenaikan pajak yang dapat mengurangi penerimaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
-
Kebijakan yang Berkaitan dengan Output
Dengan menaikkan jumlah output misal dengan cara kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang meningkat atau penaikan jumlah produksi, bertambahnya jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
-
Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing
Dengan penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk gaji/upah (dengan demikian gaji/upah secara riil tetap).Kalau indeks harga naik, maka gaji/upah juga naik, begitu pula kalau harga turun.
-
Sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering antara lain: Penurunan nilai uang, Pembekuan sebagian simpanan pada bank – bank dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh pemerintah.
-
Devaluasi
Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri.Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil.Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing.
Contoh Inflasi
Inflasi saat ini tak hanya melanda Indonesia belaka. Se-antero dunia pun saat ini sedang menghadapi gelombang pasang inflasi. Fenomena yang demikian ini diakibatkan ulah lonjakan harga minyak maupun komiditas lainnya dan tak lepas juga komoditas pangan. Kondisi yang demikian ini ditambah lagi peranan hedge- fund dan spekulan komoditas yang turut mendorong kenaikan harga.
Di dunia, sepertiga negara-negara berkembang rata-rata sudah pernah mengalami tingkat inflasi yang berada pada posisi dua digit, bahkan dibeberapa negara sudah mengalami hiperinflasi.
Vietnam, Venezuela dan Pakistan adalah contoh negara yang mengalami inflasi yang cukup parah di mana tingkat inflasi mencapai 20% bahkan Zimbabwe sampai- sampai tak sanggup mengendalikan inflasinya sehingga diambi kebijakan harus memotong 10 angka nol di mata uangnya, seperti 10 Milyar menjadi 1, dalam hitungan persen inflasinya didapat 2,2 juta%! Wouw suatu rekor dalam sejarah dunia.
Menurut catatan Bank Dunia, lonjakan harga berjamaah ini pernah terjadi pada tahun 1973. di tahun itu, hampir semua komoditas bak berikrar untuk naik harga secara bersama-sama. Kenaikan harga-harga ini secara otomatis menjadi pukulan telak bagi kelompok miskin, kelompok yang paling rentan terhadap lonjakan harga. Besarnya permintaan dan kurangnya penawaran, terutama untuk bahan pangan telah manjadikan masalah ini menjadi masalah global.
Dua negara yang paling berjubel penduduknya, India dan China mengeluarkan kebijakan melarang ekspor beras demi mengamankan pasokan dalam negeri. Sekedar menaikkan pajak ekspor tidak terlalu jitu untuk kondisi seperti sekarang ini. Di sisi lain, negara pengimpor beras, seperti Filipina dan Indonesia, mengadakan tender besar-besaran untuk impor beras. Hal ini mendorong harga komoditas lebih suka bertengger di atas.
Kenapa kondisi seperti ini bisa terjadi? Diduga, kebijakan negara maju yang merangsang produksi biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil, dalam rangka mengantisipasi global warming, dengan cara pemberian subsidi, membatasi ekspor, dan mewajibkan penggunaan biofuel di dalam negeri, telah memicu konversi secara besar-besaran penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar nabati. Komoditas yang tadinya di konsumsi sebagai makanan, sekarang digunakan untuk menjalankan mesin. Di Amerika Serikat sendiri, 40% produksi jagung dialokasikan untuk pembuatan etanol.
Demikian Pembahasan Tentang Pengertian Inflasi – Rumus, Teori, Faktor, Jenis, Biaya, Dampak, Cara Mengatasi dan Contoh Semoga Bermanfaat Buat Para Sahabat Setia Dosenpendidikan.Com … 😀
Baca Juga Artikel Lainnya: