Adversity Quotient

Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient adalah istilah baru kecerdasan manusia yang diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997 dalam bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacle into Opportunities. Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang bermakna kegagalan atau kemalangan.

Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan. Adversity sendiri bila diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakbahagiaan, kesulitan, atau ketidakberuntungan. Menurut Rifameutia istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.

Nggermanto (2001) berpendapat bahwa adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya.

Ronie (2006) mendefinisikan adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa definisi di atas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.

Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2000) adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. Menurut Stoltz (2000), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotientAdversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :
  1. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
  2. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.
  3. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut.

Berikut merupakan contoh kasus yang menandakan seseorang memiliki kecerdasan AQ yang tinggi. “Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 – 1931) berhasil  menemukan baterai  yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil ?” Secara spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil ? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi.

Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Stoltz “2000:102” membagi empat aspek atau dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity quotient yang tinggi yang kemudian disingkat menjadi CO2RE “Control, Origin, Ownership, Reach, Endurance” yang dijelaskan sebagai berikut “Stoltz, 140-162”:

  • Control “Kendali”

Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan dimasa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang.

  • Origin “Asal-Usul” Dan Ownership “Pengakuan”

Sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya atau sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Poin ini merupakan pembukaan dari poin ownership. Ownership mengungkap sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.

  • Reach “Jangkauan”

Sejauh mana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Adversity quotient yang rendah pada individu akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang.

  • Endurance “Daya Tahan”

Endurance adalah aspek ketahanan individu, sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Sehingga pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung. Efek dari aspek ini adalah pada harapan tentang baik atau buruknya keadaan masa depan. Makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya.

Karakteristik Adversity Quotient

Didalam merespon suatu kesulitan terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau dari tingkat kemampuannya (Stolz, 2000) :

  1. Quitters

Quitters, mereka yang berhenti adalah seseorang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters (mereka yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah (Ginanjar Ary Agustian, 2001). Orang dengan tipe ini cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti.

Para quitters menolak menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang yang seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Dalam hirarki Maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya paling dasar dalam bentuk piramida.

  1. Campers

Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi) . Golongan ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Tipe ini merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahkan terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada skala hirarki Maslow. Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan.

Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah mencapai tahap tertentu, campers berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers sekurangkurangnya telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.

  1. Climbers

Climbers (pendaki) mereka yang selalu optimis, melihat peluangpeluang, melihat celah, melihat senoktah harapan di balik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju. Nokta kecil yang dianggap sepele, bagi para Climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan (Ginanjar Ary Agustian, 2001). Climbers merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri pada skala hirarki Maslow. Climbers adalah tipe manusia yang berjuang seumur hidup, tidak perduli sebesar apapun kesulitan yang datang.

Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitasnya tipe ini berusaha mengendalikan lingkungannya. Climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

Faktor-Faktor Pembentuk Adversity Quotion (AQ)

Faktor-faktor pembentuk adversity quotient menurut Stoltz (2000) adalah sebagai berikut :

  • Daya saing

Seligman (Stoltz, 2000) berpendapat bahwa adversity quotient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.

  • Produktivitas

Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.

  • Motivasi

Penelitian yang dilakukan oleh Stoltz (2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.

  • Mengambil resiko

Penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman (Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai adversity quotient tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity quotient tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.

  • Perbaikan

Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.

  • Ketekunan

Seligman menemukan bahwa seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan.

  • Belajar

Menurut Carol Dweck (Stoltz, 2000: 95) membuktikan bahwa anakanak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola pesimistis.

Cara Menumbuhkan Adversity Quotient

Menurut Stoltz, cara menumbuhkan dan mengembangkan Adversity Quotient dapat dilakukan dengan istilah LEAD “Listened, Explored, Analized, Do” yaitu dijelaskan sebagai berikut:

  1. Listened “Dengar”

Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi AQ mana yang paling tinggi.

  1. Explored “Gali”

Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.

  1. Analized “Analis”

Pada tahap ini, individu diharapkan mampu penganalisis bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta ini perlu dianalisis untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung AQ individu.

  1. DO “Lakukan”

Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan itu terjadi.

Demikianlah pembahasan mengenai Adversity Quotient adalah – Dimensi, Karakteristik, Faktor dan Cara Menumbuhkan semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua,, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂

Baca Juga: